Balada tentang Fakta yang "Diperkosa"
Oleh: Yunanto
Fakta itu diam dan netral. Fakta apa pun. Fakta peristiwa maupun fakta pendapat. Begitu pula gabungan fakta peristiwa dengan fakta pendapat.
Peristiwa kecelakaan lalu lintas (laka lantas), misalnya. Ada kendaraan bermotor yang rusak. Ada korban di kendaraan bermotor tersebut. Semua kasat mata. Itulah fakta peristiwa.
Korban laka lantas mengucapkan sesuatu. Saksi mata
laka lantas mengatakan sesuatu. Polantas menjelaskan ihwal laka
lantas itu kepada pers. Maka, "mengucapkan", "mengatakan"
dan "menjelaskan" itulah fakta pendapat. Fakta berupa isi
pendapat mereka sebagai narasumber.
Begitulah makna fakta menurut disiplin Ilmu Publisistik Praktika. Manakala fakta "diusik" menjadi tidak diam dan tidak netral, terjadilah erosi fakta. Maka di situ titik awal terjadinya kebohongan atas fakta. Makin konyol tatkala fakta "diperkosa". Tidak sekadar erosi fakta yang terjadi. Kebohongan mengalir deras (menjadi) seolah-olah fakta.
Ketika fakta yang diam dan netral itu sudah mewujud menjadi tulisan atau gambar masih juga "diperkosa", makin dahsyat kebohongannya. Tak terkecuali gambar bergerak (baca: film, video).
Lahirlah "fakta baru" lagi yang sesungguhnya kebohongan. Maka kebohongan itu pun fakta adanya. Artinya, fakta bahwa "fakta baru" itu adalah kebohongan.
"Fakta baru" itu pun diam dan netral. Sebagaimana galibnya fakta. Namun, bila "fakta baru" itu "diusik" lagi, "diperkosa" lagi, jadilah kebohongan baru lagi. Kian jauh meninggalkan fakta awal yang sesungguh-sungguhnya fakta. Sebut saja fakta ori (orisinil).
Perbuatan "mengusik" fakta berulang kali, itulah "perkosaan" atas fakta ori. Bila "perkosaan" atas fakta ori dilakukan secara konsisten, lahirlah "kebenaran" yang sesungguhnya kebohongan. Kandungan kadar fakta ori menyusut drastis. Bahkan, bisa jadi hilang. Tanpa fakta ori.
Peliknya, "kebenaran" yang sesungguhnya bohong itu akhirnya diakui (bahkan diyakini) sebagai kebenaran. Pasalnya, dilakukan secara berulang kali. Terus-menerus dan konsisten. Tepat sasaran yang dituju pula.
Benarlah kata Paul Joseph Goebbels. Menteri Propaganda Nazi ini memiliki teknik jitu terkait dengan memproduksi kebohongan. Disebut teknik "Argentum ad Nausem". Dikenal luas sebagai teknik "Big Lie" (kebohongan besar). Pokoknya, kebohongan yang disebarkan tiada berkesudahan, akhirnya (bisa) dianggap sebagai fakta ori. Diyakini bermuatan kebenaran. Parah.
Pejabat tinggi Nazi yang disayangi Adolf Hitler itu berujar, "Sebarkan berita bohong lewat media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin, hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran."
Benar adanya. Perang Propaganda Total yang digemakan Goebbels 18 Februari 1943, saat ia berusia 46 tahun, membuahkan sukses besar bagi Nazi. Kendati akhirnya Nazi dihancurkan Sekutu, tenik "Argentum ad Nauzem" Goebbels diakui jitu. Paling tidak, di ranah propaganda, hingga kini.
Hukum dan Etik
Bohong, kebohongan, pembohongan, disimak dari sudut pandang berpikir positif pastilah negatif. Lebih parah bobot negatifnya, bila korban berjatuhan sebagai dampak (akibat) dari bohong, kebohongan, atau pembohongan.
Tatkala bohong, kebohongan, pembohongan disebarkan secara sistematis dan masif, sungguh fatal dampak negatifnya. Lebih dahsyat lagi bila menggunakan medium jamak (media massa). Kuantitas korbannya pasti dalam terminologi massal.
Sejumlah produk hukum positif (undang-undang) telah memagari dampak negatif kebohongan. Tentu dihajatkan untuk mencegah jatuhnya korban. Andai sudah telanjur jatuh korban, ada sanksi pidana bagi pelakunya. Demi munculnya efek jera.
Di jagat publikasi media massa, "rambu" dan "ranjau" telah dibangun. Selain UU RI No. 40/ Tahun 1999 tentang Pers, ada pula UU RI No. 11/Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU RI No. 19/ Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lazim disingkat UU ITE. Mencakup ranah media siber; media dalam jaringan (daring).
Undang-undang ITE merupakan produk hukum positif yang bersifat khusus dan mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum. Lazim disebut "Lex specialist derograt legi lex generali". UU ITE pun tidak hanya berlaku bagi jurnalis media siber, tapi juga "mengikat" siapa pun tanpa kecuali.
Khusus di dunia jurnalistik, secara etik telah dibangun pula "pagar" berupa Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Sebuah landasan moral dan etika dalam menjalani profesi. Dihajatkan untuk menjamin kemerdekaan pers. Selain itu juga untuk memenuhi hak publik memperoleh informasi.
Erosi atas fakta yang melahirkan kebohongan, jelas "menabrak" norma hukum positif dan kaidah etik tersebut. Lebih ironis bila kebohongan itu menyesatkan publik, memantik konflik, dan memunculkan aksi rusuh massal.
"Memperkosa" fakta sampai lahir pembohongan publik dan berdampak sangat buruk, tentu masuk kategori perbuatan pidana. Semakin pasti bila dilakukan dengan sengaja dan secara melawan hukum.
Aparat penegak hukum pastilah menyelidik hingga menyidik. Seperti apa perbuatan pidana yang kasat mata telah dilakukan dalam konteks pembohongan publik. Lazim disebut "actus reus auto delictum".
Motif yang membalut niat melakukan tindak pidana pembohongan publik pun pastilah dilacak. Apa motifnya, apa target golnya, apa pula yang melatarbelakangi motif dengan target gol tersebut. Tentu, yang namanya motif tidak kasat mata. Itulah yang disebut "mens rea auto delictum".
Apa pun perbuatan yang kasat mata dan yang tersembunyi di sudut hati (motif), pastilah negatif bila berkorelasi dengan "perkosaan" atas fakta. Jadi, tak berlebihan bila fakta disebut sebagai "kiblat" publikasi.
"Memperkosa" fakta dalam jagat publikasi, nyaris pasti memunculkan balada. Ya, balada, sajak tentang cerita rakyat yang menyedihkan. Rakyat yang menjadi korban kebohongan. (☆)
Catatan Redaksi:
Yunanto mantan wartawan Harian Sore "Surabaya Post", 1982 - 2002.
Begitulah makna fakta menurut disiplin Ilmu Publisistik Praktika. Manakala fakta "diusik" menjadi tidak diam dan tidak netral, terjadilah erosi fakta. Maka di situ titik awal terjadinya kebohongan atas fakta. Makin konyol tatkala fakta "diperkosa". Tidak sekadar erosi fakta yang terjadi. Kebohongan mengalir deras (menjadi) seolah-olah fakta.
Ketika fakta yang diam dan netral itu sudah mewujud menjadi tulisan atau gambar masih juga "diperkosa", makin dahsyat kebohongannya. Tak terkecuali gambar bergerak (baca: film, video).
Lahirlah "fakta baru" lagi yang sesungguhnya kebohongan. Maka kebohongan itu pun fakta adanya. Artinya, fakta bahwa "fakta baru" itu adalah kebohongan.
"Fakta baru" itu pun diam dan netral. Sebagaimana galibnya fakta. Namun, bila "fakta baru" itu "diusik" lagi, "diperkosa" lagi, jadilah kebohongan baru lagi. Kian jauh meninggalkan fakta awal yang sesungguh-sungguhnya fakta. Sebut saja fakta ori (orisinil).
Perbuatan "mengusik" fakta berulang kali, itulah "perkosaan" atas fakta ori. Bila "perkosaan" atas fakta ori dilakukan secara konsisten, lahirlah "kebenaran" yang sesungguhnya kebohongan. Kandungan kadar fakta ori menyusut drastis. Bahkan, bisa jadi hilang. Tanpa fakta ori.
Peliknya, "kebenaran" yang sesungguhnya bohong itu akhirnya diakui (bahkan diyakini) sebagai kebenaran. Pasalnya, dilakukan secara berulang kali. Terus-menerus dan konsisten. Tepat sasaran yang dituju pula.
Benarlah kata Paul Joseph Goebbels. Menteri Propaganda Nazi ini memiliki teknik jitu terkait dengan memproduksi kebohongan. Disebut teknik "Argentum ad Nausem". Dikenal luas sebagai teknik "Big Lie" (kebohongan besar). Pokoknya, kebohongan yang disebarkan tiada berkesudahan, akhirnya (bisa) dianggap sebagai fakta ori. Diyakini bermuatan kebenaran. Parah.
Pejabat tinggi Nazi yang disayangi Adolf Hitler itu berujar, "Sebarkan berita bohong lewat media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin, hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran."
Benar adanya. Perang Propaganda Total yang digemakan Goebbels 18 Februari 1943, saat ia berusia 46 tahun, membuahkan sukses besar bagi Nazi. Kendati akhirnya Nazi dihancurkan Sekutu, tenik "Argentum ad Nauzem" Goebbels diakui jitu. Paling tidak, di ranah propaganda, hingga kini.
Hukum dan Etik
Bohong, kebohongan, pembohongan, disimak dari sudut pandang berpikir positif pastilah negatif. Lebih parah bobot negatifnya, bila korban berjatuhan sebagai dampak (akibat) dari bohong, kebohongan, atau pembohongan.
Tatkala bohong, kebohongan, pembohongan disebarkan secara sistematis dan masif, sungguh fatal dampak negatifnya. Lebih dahsyat lagi bila menggunakan medium jamak (media massa). Kuantitas korbannya pasti dalam terminologi massal.
Sejumlah produk hukum positif (undang-undang) telah memagari dampak negatif kebohongan. Tentu dihajatkan untuk mencegah jatuhnya korban. Andai sudah telanjur jatuh korban, ada sanksi pidana bagi pelakunya. Demi munculnya efek jera.
Di jagat publikasi media massa, "rambu" dan "ranjau" telah dibangun. Selain UU RI No. 40/ Tahun 1999 tentang Pers, ada pula UU RI No. 11/Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU RI No. 19/ Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lazim disingkat UU ITE. Mencakup ranah media siber; media dalam jaringan (daring).
Undang-undang ITE merupakan produk hukum positif yang bersifat khusus dan mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum. Lazim disebut "Lex specialist derograt legi lex generali". UU ITE pun tidak hanya berlaku bagi jurnalis media siber, tapi juga "mengikat" siapa pun tanpa kecuali.
Khusus di dunia jurnalistik, secara etik telah dibangun pula "pagar" berupa Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Sebuah landasan moral dan etika dalam menjalani profesi. Dihajatkan untuk menjamin kemerdekaan pers. Selain itu juga untuk memenuhi hak publik memperoleh informasi.
Erosi atas fakta yang melahirkan kebohongan, jelas "menabrak" norma hukum positif dan kaidah etik tersebut. Lebih ironis bila kebohongan itu menyesatkan publik, memantik konflik, dan memunculkan aksi rusuh massal.
"Memperkosa" fakta sampai lahir pembohongan publik dan berdampak sangat buruk, tentu masuk kategori perbuatan pidana. Semakin pasti bila dilakukan dengan sengaja dan secara melawan hukum.
Aparat penegak hukum pastilah menyelidik hingga menyidik. Seperti apa perbuatan pidana yang kasat mata telah dilakukan dalam konteks pembohongan publik. Lazim disebut "actus reus auto delictum".
Motif yang membalut niat melakukan tindak pidana pembohongan publik pun pastilah dilacak. Apa motifnya, apa target golnya, apa pula yang melatarbelakangi motif dengan target gol tersebut. Tentu, yang namanya motif tidak kasat mata. Itulah yang disebut "mens rea auto delictum".
Apa pun perbuatan yang kasat mata dan yang tersembunyi di sudut hati (motif), pastilah negatif bila berkorelasi dengan "perkosaan" atas fakta. Jadi, tak berlebihan bila fakta disebut sebagai "kiblat" publikasi.
"Memperkosa" fakta dalam jagat publikasi, nyaris pasti memunculkan balada. Ya, balada, sajak tentang cerita rakyat yang menyedihkan. Rakyat yang menjadi korban kebohongan. (☆)
Catatan Redaksi:
Yunanto mantan wartawan Harian Sore "Surabaya Post", 1982 - 2002.
Erosi atas fakta yang melahirkan
kebohongan, jelas "menabrak" norma hukum positif dan kaidah
etik tersebut. Lebih ironis bila kebohongan itu menyesatkan publik,
memantik konflik, dan memunculkan aksi rusuh massal.
"Memperkosa" fakta sampai lahir pembohongan publik dan berdampak sangat buruk, tentu masuk kategori perbuatan pidana. Semakin pasti bila dilakukan dengan sengaja dan secara melawan hukum.
Aparat penegak hukum pastilah menyelidik hingga menyidik. Seperti apa perbuatan pidana yang kasat mata telah dilakukan dalam konteks pembohongan publik. Lazim disebut "actus reus auto delictum".
Motif yang membalut niat melakukan tindak pidana pembohongan publik pun pastilah dilacak. Apa motifnya, apa target golnya, apa pula yang melatarbelakangi motif dengan target gol tersebut. Tentu, yang namanya motif tidak kasat mata. Itulah yang disebut "mens rea auto delictum".
Apa pun perbuatan yang kasat mata dan yang tersembunyi di sudut hati (motif), pastilah negatif bila berkorelasi dengan "perkosaan" atas fakta. Jadi, tak berlebihan bila fakta disebut sebagai "kiblat" publikasi.
"Memperkosa" fakta dalam jagat publikasi, nyaris pasti memunculkan balada. Ya, balada, sajak tentang cerita rakyat yang menyedihkan. Rakyat yang menjadi korban kebohongan. (☆)
Catatan Redaksi:
Yunanto mantan wartawan Harian Sore "Surabaya Post", 1982 - 2002.
"Memperkosa" fakta sampai lahir pembohongan publik dan berdampak sangat buruk, tentu masuk kategori perbuatan pidana. Semakin pasti bila dilakukan dengan sengaja dan secara melawan hukum.
Aparat penegak hukum pastilah menyelidik hingga menyidik. Seperti apa perbuatan pidana yang kasat mata telah dilakukan dalam konteks pembohongan publik. Lazim disebut "actus reus auto delictum".
Motif yang membalut niat melakukan tindak pidana pembohongan publik pun pastilah dilacak. Apa motifnya, apa target golnya, apa pula yang melatarbelakangi motif dengan target gol tersebut. Tentu, yang namanya motif tidak kasat mata. Itulah yang disebut "mens rea auto delictum".
Apa pun perbuatan yang kasat mata dan yang tersembunyi di sudut hati (motif), pastilah negatif bila berkorelasi dengan "perkosaan" atas fakta. Jadi, tak berlebihan bila fakta disebut sebagai "kiblat" publikasi.
"Memperkosa" fakta dalam jagat publikasi, nyaris pasti memunculkan balada. Ya, balada, sajak tentang cerita rakyat yang menyedihkan. Rakyat yang menjadi korban kebohongan. (☆)
Catatan Redaksi:
Yunanto mantan wartawan Harian Sore "Surabaya Post", 1982 - 2002.
Post a Comment