Catatan Akhir Tahun: Bahasa dan Kelayakan Berita di Media Online
Yunanto bersama cucu
Oleh: Yunanto
Bahasa
jurnalistik masih menjadi kendala terberat peningkatan kualitas karya
jurnalistik di media online. Padahal, ibarat alat
utama sistem persenjataan (alutsista) TNI, bahasa jurnalistik adalah
"alutsista" jurnalis. Mutunya menunjukkan kualitas karya
jurnalistik sekaligus "kelas" jurnalisnya.
Kendala
berikutnya, kelayakan berita. Terutama dalam bentuk berita
langsung atau berita lurus, lazim disebut straight news.
Contoh, sekadar lomba makan kerupuk antar-RT saja, diberitakan. Bobot
nilai berita dari aspek manfaat warta bagi khalayak komunikan media
(pembaca) nihil.
Pemahaman
terhadap hukum positif (undang-undang) dalam berkarya jurnalistik
juga masih perlu perhatian serius. Masih ada kesan turut serta
"mengadili" lewat pemberitaan ( trial by the
press). Bahaya bagi jurnalis dan medianya, bila karya jurnalistik
dimaksud memenuhi unsur-unsur pasal suatu delik (tindak
pidana).
Itulah
tiga poin "Catatan Akhir 2019" ihwal karya jurnalistik di
media online. Saya buat catatan setelah mencermati ratusan item
news berbentuk straight news di sejumlah
media online. Pencermatan sepanjang tahun ini saya
lakukan dengan cara mengakses warta media online di
sejumlah grup WA jurnalis.
Catatan
tersebut saya buat sebagai salah satu bahan kajian bagi
internal institusi saya, Lembaga Supremasi Media Indonesia (LASMI).
Hasil kajian untuk menyempurnakan metodologi pendidikan dan pelatihan
(diklat) jurnalistik LASMI.
Etika-Estetika
Bahasa
jurnalistik adalah bahasa Indonesia yang digunakan pewarta (jurnalis,
wartawan) dalam menyusun naskah berita berciri khas bahasa media
massa. Ciri khas dimaksud: (1) singkat, (2) lugas,
(3) logis, (4) taat asas kata baku, (5) mudah
dicerna dan dipahami, (6) enak dibaca.
Ciri
khas ke-1 hingga ke-5 tersebut merupakan etika (kaidah tatakrama)
berbahasa jurnalistik. Ciri khas ke-6, enak dibaca, merupakan
estetika (kaidah keindahan). Tak pelak, jurnalis wajib memiliki
kekayaan berbendaharaan kata (kosakata). Wajib pula kaya idiom, yaitu
ungkapan bahasa berupa gabungan kata (frase).
Berbahasa singkat artinya
tidak bertele-tele, tapi tidak mengubah makna kata dalam kalimat.
Contoh: Bupati Amartapura pada hari Jumat, tanggal 13
Desember 2019, meresmikan jembatan....
Kata
"hari" dan "tanggal" tidak
perlu ditulis, karena sudah jelas "Jumat" nama hari dan "13
Desember 2019" itu tanggal. Kata sambung "pada"
pun tidak perlu dituliskan.
Lugas artinya
langsung menukik pada sasaran; tidak membiaskan topik. Contoh: Proyek
Nasional Agraria (Prona) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum
dalam kepemilikan tanah, agar masyarakat bisa menjaminkan sertifikat
tanahnya di bank bila butuh uang. Kalimat "agar
masyarakat bisa menjaminkan sertifikat tanah di bank" itu
bias topik. Mencampuraduk aspek hukum dengan aspek ekonomi.
Logis berarti
masuk akal dan faktual. Contoh: Massa warga Donowarih yang
marah bergerak ke Kantor Kecamatan Karangploso. Tidak logis,
karena "Kecamatan" adalah sebutan wilayah
(elemen where), bukan manusia (elemen who)
atau jabatan elemen who. Logisnya, Kantor
Camat Karanploso.
Mudah
dicerna dan dipahami, artinya secara sepintas (singkat)
kandungan maksud dan motif dalam kalimat bisa dimengerti oleh
pembaca. Contoh: Puan Maharani sebagai pimpinan lembaga
parlemen dengan jabatan Ketua Dewan Perwakilan Rakayat Republik
Indonesia, berkomitmen melaksanakan... . Seharusnya cukup
ditulis: Ketua DPR RI, Puan Maharani, berkomitmen
melaksanakan...
Taat
asas kata baku artinya selalu menggunakan kata-kata baku.
Contoh: sekadar, imbauan, konkret, atlet, antre, kuitansi,
kualitas, apotek, tahu, diubah.
Kata-kata
baku tersebut masih saja "diperkosa" menjadi tidak
baku: sekedar, himbauan, konkrit, atlit, antri, kwitansi,
kwalitas, apotik, tau, dirubah.
Hal
yang juga parah terjadi pada kaidah penulisan kata depan, awalan dan
kata sambung. Bahkan, pelanggaran kaidah tersebut mencolok sejak di
kalimat judul berita, kemudian diulang-ulang dalam tubuh berita.
Contoh
kalimat judul:
Wakil
Bupati Amartapura Akan Segera Di Lantik Pada Desember Ini.
Kaidah
yang dilanggar: kata sambung "akan" dan "pada"
ditulis dengan awal huruf kapital; awalan "Di"
diposisikan menjadi kata depan (dipisah dari kata dasarnya,
"lantik").
Ada
pula kerancuan makna. Misal, penulisan kata orangtua (dirangkai,
satu kata) dan orang tua (dipisah, dua kata), tapi maknanya
disamakan. Padahal, orangtua (satu kata) berarti
ayah dan ibu; sedangkan orang tua (dua kata) berarti
manusia lanjut usia.
Terakhir
yang juga parah, kalimat judul cenderung panjang, lebih dari delapan
kata. Sebenarnya bisa disiasati memakai sub-judul atau anak judul,
lazim disebut kickers. Kalimat dalam tubuh berita pun banyak
yang sangat panjang, lebih dari 20 kata per kalimat. Dampaknya
menyulitkan pembaca mencerna dan memahami makna kalimat. Akibatnya
jauh meninggalkan kaidah estetika. Pasti, menjadi tidak enak dibaca.
Kelayakan
Kelayakan
berita atau kelayakan publikasi, perlu perhatian serius. Setiap
institusi media massa harus memiliki kelayakan publikasi sebagai
parameter atau "kiblat" pemberitaan.
Hal
tersebut merupakan keniscayaan di jagat publisistik praktika
(jurnalistik). Pasalnya, tidak semua peristiwa layak diberitakan.
Tidak semua orang layak diwawancarai sebagai narasumber. Tidak semua
peristiwa dan narasumber bermuatan (memiliki) nilai berita yang layak
publikasi.
Bertumpu
pada hal tersebut di atas, maka sekurang-kurangnya ada tiga kelayakan
publiksi/kelayakan berita atas suatu peristiwa. Rincinya, (1)
kelayakan peristiwa, (2) kelayakan narasumber, (3) kelayakan bobot
nilai berita.
Parameter
untuk memastikan kelayakan publikasi pun harus dibangun.
Sekurang-kurangnya
ada empat parameter. Rincinya, (1) nilai kadar aktualitas yang
terkandung dalam elemen when atas what, (2) proximity atau
jarak elemen where atas what, who dan
komunikan utama media, (3) kelengkapan elemen bahan berita (5W + H),
dan (4) kegunan/manfaat berita bagi sebanyak-banyaknya komunikan
media.
Perihal
pemahaman terhadap hukum positif (undang-undang), secara empirik
hanya butuh membiasakan diri gemar membaca. Tentu, membaca
undang-undang. Sangat penting jurnalis diwajibkan "melek"
(memahami) sejumlah hukum positif. Tidak hanya UU RI No. 40/ Tahun
1999 tentang Pers, dan UU RI No. 11/ Tahun 2008 yang telah diubah
dengan UU RI No. 19/ Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE).
Jurnalis
idealnya juga tidak hanya mafhum Kode Etik Jurnalistik. Ia wajib
memahami kandungan isi UUD 1945. Mafhum pula UU RI No. 8/ Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai "pondasi" hukum
publik (hukum pidana).
Sangat
ideal bila jurnalis juga memahami kandungan isi sejumlah
undang-undang yang terkait dengan hak publik. Sebut saja, antara
lain, UU RI No. 14/ Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
(KIP).
Perlu
diingat, jurnalis bukan sekadar penjaga gawang aspirasi publik. Ia
pekerja intelektual yang wajib menghadirkan pencerahan pada publik
lewat informasi berkualitas tinggi. Mencerdaskan khalayak komunikan
medianya.
Nah,
siapa bilang jadi jurnalis mudah? (☆)
Catatan:
Penulis
adalah wartawan Harian Sore "Surabaya Post" 1982-2002;
alumnus Sekolah Tinggi Publisistik - Jakarta.
Post a Comment