Asal Usul Desa Kedungsalam, Kabupaten Malang
Desa
Kedungsalam dahulu merupakan hutan belantara yang sangat angker, dalam
bahasa Jawa dapat diibaratkan sato moro sato mati, Jalmo moro jalmo
mati, yang maksudnya baik hewan maupun manusia jika masuk ke hutan
tersebut akan menemui ajalnya. Mengapa terjadi hal demikian ?
Menurut
masyarakat desa Kedungsalam dan sekitarnya, desa tersebut masih dalam
kekuasaan mbok Nyai Ratu Mas yang terkenal sebagai Ratu Laut Selatan
sehingga siapa yang masuk wilayah tersebut tanpa ijinnya akan
disingkirkan atau dimurkai. Oleh karena itu hanya ada beberapa orang
saja yang berani bertempat tinggal di desa itu. Kemudian pada akhir abad
ke 18 datanglah seorang pengembara dan beberapa orang pengikutnya dari
Jawa Tengah (Mataram). Pengembara tersebut kemudian dikenal dengan nama
Mbah Atun
Mbah
Atun adalah seorang wanita yang cantik dan sakti mandra guna, oleh
karena itu beliau sangat dihormati dan ditakuti. Sedang nama Atun
sendiri bukan nama beliau sendiri tetapi nama anaknya yang sulung yaitu
Sringatun. Nama Mbah Atun yang sesungguhnya tidak ada yang mengetahui,
bahkan mbah Supangat yang merupakan cucu beliau juga tidak mengetahui.
Siapa nama suami Mbah Atun juga tidak ada yang mengetahui.
Kedatangan
mbah Atun dengan para pengikutnya di hutan tersebut disambut gembira.
Mereka segera membuka hutan untuk tempat tinggal. Menurut ceritera hutan
tersebut banyak ditumbuhi pohon salam, di samping itu juga terdapat
kedhung (lubuk) yang dalam. Tempat tinggal yang baru tersebut makin lama
makin banyak penduduknya sehingga menjadi satu perkampungan yang ramai.
Desa tersebut kemudian dinamakan Kedungsalam, karena di desa itu banyak
terdapat kedhung (lubuk) dan banyak ditumbuhi pohon salam.
Desa
Kedungsalam makin lama makin bertambah penduduknya sehingga tumbuh
menjadi Kelurahan. Lurah desa pertama di desa itu adalah Abdul Muthalib.
Lurah desa Kedungsalam dalam memerintah desanya didampingi oleh mbah
Atun sebagai sesepuh dan penasehat, oleh karena itu masyarakat merasa
bahagia dan sejahtera.
Namun
kebahagiaan tersebut pada suatu saat terganggu karena adanya wabah
penyakit yang menimpa rakyat desa Kedungsalam. Pada saat itu dapat
diibaratkan orang yang sakit pagi, malam harinya meninggal, orang sakit
malam pagi harinya meninggal. Peristiwa tersebut meresahkan penduduk
desa Kedungsalam.
Melihat
penderitaan masyarakat tersebut, Mbah Atun sebagai sesepuh desa yang
dihormati merasa prihatin. Oleh karena itu beliau tidak tinggal diam,
maka beliau segera bersemedi memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa/Kuasa
agar masyarakat di desanya terteram seperti sedia kala. Di dalam
semedinya beliau mendapat wangsit, bahwa wabah penyakit akan segera reda
dengan syarat mbah Atun beserta masyarakat desa Kedungsalam harus
mengadakan upacara labuhan di pantai Ngliyep tepatnya di Gunung Kombang.
Mbah
Atun segera menyampaikan wangsit tersebut kepada bapak Lurah dan
masyarakat desa Kedungsalam. kemudian beliau berdua segera mengadakan
musyawarah kapan upacara tersebut dilaksanakan.
Berdasar
hasil musyawarah tersebut upacara Labuhan dilaksanakan pada tanggal 14
bulan Maulud tahun 1913. Setelah upacara dilaksanakan ternyata wabah
penyakit yang mengamuk di desa Kedungsalam reda, sehingga masyarakat
menjadi tenteram. Oleh sebab itu, sampai sekarang ini rakyat desa
kedungsalam khususnya keluarga keturunan mbah Atun selalu setia
melaksanakan upacara Labuhan yang diadakan pada setiap tanggal 14
Maulud.
Adapun
maksud dan tujuannya adalah sebagai ungkapan rasa terima kasih atas
keselamatan dan rezeki yang telah diterima oleh masyarakat desa
kedungsalam dan warga masyarakat lainnya dan juga sebagai sarana
permohonan kepada yang Maha Kuasa agar masyarakat desa Kedungsalam
mendapat rahmat, keselamatan dan ketentraman.
Sumber : Pustaka Jawatimuran
Post a Comment